Karakter kesadaran manusia yang oleh Freire
digolongkan menjadi tiga.Pertama kesadaran magis, yakni suatu kesadaran
masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor
lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan
kemiskinan mereka dengan sistim politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih
melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab
dan ketakberdayaan. Kesadaran kedua adalah kesadaran naif. Keadaan yang di
katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi
akar penyebab masalah masyarakat.
Dalam kesadaran ini ‘masalah etika,
kreativitas, dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis
mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’
masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau
tidak memiliki budaya ‘membangunan’, dan seterusnya. Kesadaran ketiga disebut
sebagai kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur
sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural lebih menganalisis untuk secara
kritis menyadari struktur dan sistim sosial, politik, ekonomi dan budaya dan
akibatnya pada keadaaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih
murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistim dan struktur
yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistim dan struktur itu
bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya.
Paulo Freire yang dengan tegas mengeluarkan
teori pendidikan transformatif untuk menjawab tantangan zaman yang selalu
mengalami perubahan. paradigma pendidikan yang sedang berlangsung di
negara-negara dunia ketiga adalah paradigma pendidikan positivis-logis.
Paradigma ini lantas mengkonstruk masyarakat dunia ketiga untuk menyamakan
paradigmanya dalam merumuskan sistem pendidikan.
Bahwa
seiring perkembangan zaman, pendidikan pun juga berkembang seiring perkembangan
zaman dari mulai sistem pendidikan yang narsistik yaitu selalu mengedepankan
barat sebagai ladang pengetahuan dengan corak liberalisme yang tidak lantas
membebaskan individu dari belenggu ketertindasan moril dari kolonialisme yang
sedang dilakukan tanpa sadar, kemudian paradigma pendidikan poskolonialis yang
dikembangkan oleh Said bisa dijadikan alat untuk membongkar hegemoni dan
dominasi paradigma positivis-logis gaya barat dalam membangun sebuah paradigma
pendidikan yang baru Pola pikir poskolonialis yang coba diterapkan pada
paradigma pendidikan tersebut mengantarkan kita pada pemahaman yang humanis dan
juga kritis, dalam posisi ini sejalan dengan paradigma pendidikan transformatif
dari Freire yang ingin memanusiakan manusia.Menurut Freire sendiri, dalam filsafat
pendidikan transformatif pembelajaran merupakan pembongkaran terhadap semua
bentuk kesadaran budaya dalam rangka menumbuhkan kesadaran budaya yang baru
yaitu budaya penghargaan terhadap kemanusiaan.
Bagi
Freire sendiri pendidikan merupakan sebuah alat untuk membebaskan manusia,
karena pendidikan berpotensi untuk menyadarkan manusia dari belenggu-belenggu
kepentingan yang menjadikannya terkurung dalam sekat-sekat kebodohan akibat
adanya politik kepentingan. Paradigma pendidikan yang ditawarkan oleh Freire
adalah sebuah kritik terhadap proses pendidikan yang mengenyampingkan peran
pembebasan atau penghargaan terhadap unsur kemanusiaan.
Transformasi
berarti (a) merubah bentuk, penampilan atau struktur; (b) mengubah kondisi,
hakikat atau karakteristik; bahkan (c) mengganti substansi. Dengan demikian
semua transformasi adalah perubahan, tetapi tidak semua perubahan adalah
transformasi.pembelajaran transformatif adalah pembelajaran yang mampu
menghasilkan perubahan pada diri peserta didik. Pembelajaran yang tidak
memberikan dampak perubahan mendasar pada diri peserta didik dengan demikian
sulit disebut sebuah pembelajaran transformatif.Seorang yang mengalami
perubahan jenis ini berarti memperoleh kemampuan untuk melakukan refleksi
kritis terhadap asumsi-asumsi, kepercayaan, nilai-nilai, dan perspektif yang
melekat pada diri sendiri maupun orang lain. Namun proses ini tidak hanya
melibatkan operasi kognitif dan rasional, tetapi juga melibatkan pergerakan
emosional
Namun
pada kenyataanya sekarang pendidikan terutama di Indonesia sudah mengalami
perubahan ke arah liberalisme, seperti mulai banyak sekolah-sekolah rintisan
internasional (RSBI) yang biayanya pun juga Internasional yakni cukup mahal,
hanya orang-orang mampu saja yang bersekolah disana, sementara orang yang
kurang mampu apakah juga tidak layak mendapatkan pendidikan bertaraf
Internasional. Kemudian perlahan-lahan pun sekolah mulai berubah visi misinya
yakni yang awalnya untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada setiap muridnya,
namun sekarang justru tak jarang ada pihak sekolah yang memanfaatkan untuk
keuntungan pribadi dengan mewajibkan murid-murid untuk membayar sesuatu yang
kurang begitu bermanfaat, seperti: jalan-jalan, sumbangan untuk guru, dan
lain-lain, bahkan juga tak jarang sekolah yang hanya mementingkan semakin
banyak jumlah murid ketimbang prestasi murid itu sendiri, bahkan tak jarang
sekolah-sekolah pun bersaing untuk mendapatkan murid sampai jumalhnya banyak,
walaupun kondisi kelas atau tempat kurang layak untuk banyak orang, sebab
mereka (sekolah) hanya mengejar keuntungan belaka ketimbang prestasi, coba
bayangkan bagaimana bisa efektif jika dalam 1 kelas berisi 50 orang.
Kemudian
ada konsep atau pemikiran dari sebagian masyaakat yang berskolah hanya untuk
mendapatkan ijazah untuk mereka kerja nantinya bukan demi ilmu atau pengetahuan
yang mereka dapat. Lalu permasalahan UAN (Ujian Akhir Nasional), bagaimana bisa
seseorang belajar 6 tahun SD atau 3 tahun di SMP dan SMA lulus hanya ditentukan
dengan hasil UAN, tanpa memandang ia belajar selama 6 tahun atau 3 tahun,
walaupun di era sekarang ketetapam kelulusan 60% hasil UAN dan 40% hasil UAS
dan rapot, bagaimana bisa mengalami
perubahan dalam diri seorang murid apabila dalam dirinya hanya menargetkan yang
penting lulus ketimbang prestasi, sebab percuma berprestasi tapi tidak lulus
UAN, dan akhirnya pihak sekolah dan murid sendiri berusaha dengan cara apapun
demi lulus, karena ;pihak sekolah sendiri tidak mau malu dan turun predikatnya
akibat ada salah satu muridnya tidak lulus, maka disitulah yang dikhawatirkan
akan menimbulkan kecurangan-kecurangan. Bahkan tak jarang ada sekolah yang
tidak memikirkan prestasi siswa dan belajar siswa yang penting lulus 100%.
Apakah dengan seperti sistem pendidikan di Indonesia sudah dikatakan
transformatif.
Pendidikan
yang transformatif tak akan pula terwujud bila tidak didahului dengan
perubahan, utamanya, paradigma yang mendasarinya. Bahkan, ada pula yang
berpendapat bahwa menyebut perubahan sosial dan pendidikan yang transformatif
ibarat menyebut sesuatu dalam satu tarikan nafas: pendidikan taranformatif
adalah perubahan sosial dan perubahan sosial adalah pendidikan transformatif. Secara konseptual, ada tiga paradigma
pendidikan yang dapat memberi peta pemahaman mengenai paradigma apa yang
menjadi pijakan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang berdampak sangat
serius terhadap perubahan sosial.
Pertama,
paradigma konservatif. Paradigma ini berangkat dari asumsi bahwa
ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu keharusan alami, mustahil bisa
dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau takdir Tuhan.Kedua
paradigma pendidikan Liberal. Kaum Liberal, mengakui bahwa memang ada masalah
di masyarakat. Namun bagi mereka pendidikan sama sekali steril dari persoalan
politik dan ekonomi masyarakat. Tugas pendidikan cuma menyiapkan murid untuk
masuk dalam sistem yang ada.Paradigma terakhir adalah paradigma pendidikan
kritis. Pendidikan bagi paradigma kritis merupakan arena perjuangan politik.
Penganut paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental
dalam tatanan politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada.Paradigma
terakhir adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan bagi paradigma kritis
merupakan arena perjuangan politik. Penganut paradigma kritis menghendaki
perubahan struktur secara fundamental dalam tatanan politik ekonomi masyarakat
dimana pendidikan berada.
Diharapkan
untuk pendidikannya kedepannya terutama di Indonesia akan ada perubahan baik
mengenai kurikulum, perangkat aturan legal, maupun pergeseran paradigma yang
sepertinya tidak bisa ditolak jika menginginkan perubahan yang substantif,
tidak sekadar ‘kosmetik’ ingin diwujudkan.Pendidikan tidak dapat lepas dari
aspek sosial dan pendidikan suatu bangsa adalah cerminan kebudayaannya yang
merefleksikan ideologi dan filsafat pendidikanya. Oleh karena itu diperlukan
paradigmatis pendidikan transformatif, suatu pendidikan yang disesuaikan dengan
kebutuhan objektif, visioner, dan didasarkan pada falsafah Negara. Dalam hal
ini pendidikan dipandang menyatu dengan persoalan sosial yang tengah dihadapi
rakyat dan memberi perspektif terhadap problematika masa depan. Dengan demikian
pendidikan transformasi adalah pendidikan yang mampu menggerakan transformasi
sosial.
Komentar
Posting Komentar