Penerapan
andragogi dalam Metode Pembelajaran
Penggunaan metode pembelajaran dalam
pendidikan orang dewasa berimplikasi pada penggunaan teknik pembelajaran yang
dipandang cocok digunakan di dalam menumbuhkan perilaku warga belajar. Knowles
mengklasifikasi teknik pembelajaran dalam mencapai tujuan belajar berdasarkan
tipe kegiatan belajar, yakni; sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Kegiatan belajar pada pendidikan
orang dewasa masih merupakan kegiatan belajar yang paling efisien dan paling
dapat diterima serta merupakan alat yang dinamis dan fleksibel dalam membantu
orang dewasa belajar. Oleh karena, kegiatan belajar merupakan alat yang dinamis
dan fleksibel dalam membantu orang dewasa, maka penggunaan metode belajar
diperlukan berdasarkan prinsip-prinsip belajar orang dewasa. Metode belajar
orang dewasa adalah cara mengorganisir peserta agar mereka melakukan kegiatan
belajar, baik dalam bentuk kegiatan teori maupun praktek. ( Anonim: 2006)
Metode pembelajaran yang dapat
digunakan dalam kegiatan belajar, harus (1) berpusat pada masalah, (2) menuntut
dan mendorong peserta untuk aktif, (3) mendorong peserta untuk mengemukakan
pengalaman sehari-harinya, (4) menumbuhkan kerja sama, baik antara sesama
peserta, dan antara peserta dengan tutor, dan (5) lebih bersifat pemberian
pengalaman, bukan merupakan transformasi atau penyerapan materi.
Kegiatan
belajar dan membelajarkan pada garis besarnya dapat dibedakan atas tahap-tahap:
1. Perumusan Tujuan Program
Tujuan program menyatakan domain
tingkah laku serta tingkatan tingkah laku yang ingin dicapai sebagai hasil
belajar. Selain dari itu warga belajar dapat memiliki kesiapan mental dalam
mengikuti program kegiatan belajar yang akan dilaksanakan. Gagasan ini
merupakan aplikasi dari hukum kesiapan mental dari Thorndike.
2. Pengembagan Alat Evaluasi dan
Evaluasi Hasil Belajar
Teori belajar orang dewasa yang erat
hubungannya dengan tahap ini antara lain:
a. Pengembangan
Kemamuan Pikir; merupakan teknik pengembangan kemampuan berpikir.
b. Hukum Efek; kegiatan
belajar yang memberikan efek hasil belajar yang menyenangkan seperti nilai yang
baik, cenderung untuk diulangi dan ditingkatkan.
c. Penguatan; pujian
ataupun teguran/peringatan diberikan sesegera mungkin dan secara konsisten.
Warga belajar perlu mengetahui hasil tesnya agar ia terdorong untuk terdorong
lagi, dapat menilai usaha belajarnya untuk menghadapi tes berikutnya.
d. Keputusan
Penyajian; hasil evaluasi dijadikan dasar untuk mengambil
keputusan apakah pelajaran dapat dilanjutkan atau perlu diselenggarakan
penjelasan remedial atau mengulang kembali bagian-bagian yang dianggap sukar.
e. Hasil Evaluasi; merupakan
balikan bagi fasilitator tentang efektivitas/ kemampuan penyajiannya. Juga
merupakan balikan bagi warga belajar untuk mengetahui penguasaan terhadap bahan
pelajaran.
3. Analisis Tugas Belajar dan Identifikasi
Kemampuan Warga Belajar
Kemampuan yang
ingin dicapai senagai tujuan pembelajaran, diurai (dianalisis) atas unsur-unsur
yang telah diidentifikasi tersebut diseleksi sehingga hanya unsur-unsur yang
belum dikuasai sajalah yang dipilih sebagai bahan pelajaran. Pada tahap ini
juga diidentikkan karakteristik individual warga belajar seperti:
kecerdasa/bakat, kebiasaan belajar, motivasi belajar, kemampuan awal dan
kebutuhan warga belajar, terutama yang menyangkut kesulitan belajarnya.
Teori belajar
yang relevan dengan kegiatan analisis tugas, antara lain ialah:
a. Teori Gestalt,
meliputi:
· Hukum Pragmanz (penuh arti) yaitu pengelompokan objek sesuatu bahan
pelajaran berdasaran kriteria atau kategori tertentu seperti: warna, bentuk,
ukuran.
· Hukum kesamaan atau keteraturan: tugas-tugas yang unsur-unsurnya mempunyai
kesamaan dan teratur, lebih mudah dipahami daripada yang berbeda dan tidak
teratur.
b. Teori Medan
Belajar memecahkan masalah adalah
pengembangan struktur kognitif.
4. Penyusunan Strategi
Belajar-Membelajarkan
Strategi belajar-membelajarkan pada
hakikatnya adalah rencana kegiatan belajar dan membelajarkan yang dipilih oleh
fasilitator untuk dilaksanakan, baik oleh warga belajar maupun oleh sumber belajar
dalam rangka usaha pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Teori belajar orang dewasa yang erat
hubungannya dengan tahap ini antara lain ialah:
- Teori Bruner tentang cara mengorganisasikan batang tubuh ilmu yang dipelajari, urut-urutan pokok bahasan yang disajikan, teknik-teknik penyajian enaktif, ekonik dan simbolik.
- Teori penyajian bahan verbal yang bermakna menurut Ausubel.
- Penataan Situasi belajar yang menyangkut pengelolaan belajar dan kondisi belajar menurut Gagne.
- Metode belajar pemecahan masalah dengan teknik: ramu pendapat, metode buku catatan kolektif dan metode papan bulletin kolektif.
- Metode belajar/penyajian menemukan. Metode ini memudahkan transfer dan retensi, mempertinggi kemampuan memecahkan masalah serta mengandung morivasi intrinsik.
- Perbedaan individu dalam hal kecepatan belajar warga belajar.
- Pengaturan urutan-urutan penyajian bahan pelajaran menurut tingkat kesulitannya dari yang sederhana ke yang lebih sulit.
5. Pelaksanaan Kegiatan Belajar dan
Membelajarkan
Teori belajar
orang dewasa yang erat hubungannya dengan tahapan ini antara lain ialah:
- Hukum kesiapan. Menyiapkan mental warga belajar untuk mengikuti pelajaran baru dengan memberikan penjelasan singkat mengenai pengetahuan prasyarat untuk mengikuti pelajaran baru/hal-hal yang telah dipelajari dan berhubungan erat dengan pelajaran baru.
- Penguatan dan Motivasi Belajar. Menjelaskan kegunaan/nilai praktis dari pelajaran baru dalam kehidupan dan penghidupan.
- Proses Pensyaratan (conditioning). Memperlihatkan model hasil belajar terminal untuk memudahkan warga belajar mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru.
d. Hukum
Unsur-Unsur yang Identik.
Menstransfer pengalaman pemecahan masalah lainnya yang mempunyai persamaan.
Menerapkan pengetahuan dan keterampilan baru dalam berbagai situasi, kondisi
dan posisi.
e. Metode
Menemukan.
Memberikan kesempatan kepada warga belajar untuk melakukan sendiri keterampilan
yang harus mereka pelajari, jadi bukan fasilitator sendiri yang melakukan.
f. Cara Menarik
Perhatian. Mengaitkan kegiatan belajar dan membelajarkan dengan
kebutuhan warga belajar, mengolah bahan pelajaran sebagai bahan perlombaan
antar individu, kelompok, dan baris.
g. Karya Wisata. Pengalaman
praktik lapangan ataupun di laboratorium dan bengkel, permainan peran, permainan
atau perlombaan, merupakan pengalaman yang berkesan bagi warga belajar dan
memungkinkan mereka lebih mudah mengingat konsep-konsep pengertian kunci dan
sebagainya.
6. Pemantauan Hasil Belajar
Teori belajar
orang dewasa yang erat hbubungannya dengan tahapan ini antara lain:
- Hukum Latihan. Makin sering sesuatu pelajaran diulang makin dikuasai pelajaran itu.
- Belajar lanjut (overlearning). Belajar lanjut 50% (150%) lebih lama daya tahannya dalam ingatan.
- Revieu. Belajar dengan teknik revieu berkala lebih efektif daripada belajar terus-menerus tanpa revieu. (Mappa, 1994: 154).
Prinsip-prinsip
belajar dengan orang dewasa, yaitu:
· Prinsip pertama; tidak menggurui atau mengajari orang
dewasa, tetapi ajaklah mereka BELAJAR bersama, karena:
Ø Orang dewasa menganggap dirinya mampu BELAJAR sendiri.
Ø Orang dewasa mampu mengatur dirinya sendiri (mandiri) dan tidak
suka diajari apalagi diperintah kecuali jika mereka diberi kesempatan untuk
bertanya mengapa? Dan mengambil keputusan sendiri.
Ø Sikap yang terkesan mengguruinya akan cenderung
ditolaknya, atau dihindarinya.
· Prinsip Kedua; jangan menyalahkan atau merendahkan pendapat
masyarakat (Orang Dewasa), karena:
Ø Harga diri sangat penting bagi orang dewasa. Dia menuntut untuk
dihargai, terutama menyangkut diri dan kehidupannya.
Ø Orang dewasa memilki kesadaran akan dirinya
dalam menanggapi penilaian orang lain.
· Prinsip Ketiga; Kembangkan proses belajar dari pengalaman
masyarakat atau hubungkan antara teori dengan kehidupan sehari-hari masyarakat
karena:
Ø Orang dewasa lebih senang mengobrol dan diskusi pengalaman untuk
membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan diri mereka dan lingkungan
Ø Orang dewasa senang menceritakan pengalamannya
dan senang mendengarkan pengalaman orang lain.
· Prinsip Keempat; Berikan informasi yang memang dibutuhkan
masyarakat, karena:
Ø Setiap orang dewasa mengontrol proses belajarnya, karena ia selalu
punya tujuan pribadi untuk belajar.
Ø Orang dewasa tidak suka belajar sesuatau yang tidak bermanfaat
dalam kehidupan sehari-hari (tidak suka TEORI yang tidak diaplikasikan)
Ø Orang dewasa cenderung ingin segera menerapkan
pengetahuan dan keterampilan baru.
· Prinsip Kelima; pertimbangan keterbatasan kemampuan belajar
masyarakat (Orang Dewasa), karena kemampuan untuk menyerap informasi juga
semakin kurang berdasar usia dan perubahan fisik.
Prinsip
Andragogi Menurut Malcolm Knowles (1980) :
1.Orang dewasa perlu terlibat dalam merancang dan membuat taksiran semua kerja mereka. Pelajar mesti diberikan tujuan sejauh mana pencapaian tujuannya.
2.Pengalaman adalah asas aktivitas pembelajaran. Menjadi tanggungjawab pelajar menerima pengalaman sebagai suatu yang bermakna.
3.Pelajar lebih berminat mempelajari perkara-perkara yang berkaitan secara langsung dengan kerja dan kehidupan mereka.
4.Pembelajaran adalah tertumpu pada masalah (problem-centered). Masalah memberi tenaga, arah dan menggalakkan daya belajar dan ia perlu dimotivasikan.
Orang dewasa dalam belajar jauh berbeda dengan anak-anak, Seharusnya menggunakan pendekatan yang berbeda pula dalam membelajarkan anak. Pendekatan yang layak adalah pendekatan andragogi. Bila dihubungkan dengan penyelenggaraan pendidikan yang terorganisir di kelompok belajar, maka pendekatan andragogi akan semakin terasa pentingnya. Sebab setiap kegiatan yang terorganisir sudah tentu mempunyai atau didasarkan pada pedoman-pedoman tertentu. Pedoman inilah yang menjadi prinsip-prinsip kerja agar kegiatan berjalan pada prosedur yang benar dan sesuai dengan tujuan.
1.Orang dewasa perlu terlibat dalam merancang dan membuat taksiran semua kerja mereka. Pelajar mesti diberikan tujuan sejauh mana pencapaian tujuannya.
2.Pengalaman adalah asas aktivitas pembelajaran. Menjadi tanggungjawab pelajar menerima pengalaman sebagai suatu yang bermakna.
3.Pelajar lebih berminat mempelajari perkara-perkara yang berkaitan secara langsung dengan kerja dan kehidupan mereka.
4.Pembelajaran adalah tertumpu pada masalah (problem-centered). Masalah memberi tenaga, arah dan menggalakkan daya belajar dan ia perlu dimotivasikan.
Orang dewasa dalam belajar jauh berbeda dengan anak-anak, Seharusnya menggunakan pendekatan yang berbeda pula dalam membelajarkan anak. Pendekatan yang layak adalah pendekatan andragogi. Bila dihubungkan dengan penyelenggaraan pendidikan yang terorganisir di kelompok belajar, maka pendekatan andragogi akan semakin terasa pentingnya. Sebab setiap kegiatan yang terorganisir sudah tentu mempunyai atau didasarkan pada pedoman-pedoman tertentu. Pedoman inilah yang menjadi prinsip-prinsip kerja agar kegiatan berjalan pada prosedur yang benar dan sesuai dengan tujuan.
Tahapan Siklus Belajar Dari Pengalaman
Pada umumnya Siklus Belajar Dari Pengalaman ini telah banyak dipergunakan oleh berbagai kalangan baik di dalam lembaga Pendidikan dan Latihan di berbagai instansi pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Adapun siklus belajar tersebut sebagaimana tertera pada gambar sebagai berikut :
Tahap Mengalami (Pengalaman)
Pengalaman merupakan inti proses belajar. Ini merupakan langkah awal dari proses refleksi. Hal ini mencakup segala sesuatu yang telah kita alami yang mencakup keberadaan kita, kegiatan-kegiatan kita, perasaan-perasaan kita, pengamatan kita dan apa saja yang kita dengar. Pendekatan Daur Belajar Berdasarkan Pengalaman didasarkan pada pengalaman yang dibagikan yang merupakan pengalaman riil, konkrit dan sejauh mungkin mempunyai dampak yang berarti. Secara umum masing-masing tahapan tersebut di atas mengandung beberapa unsur penting dan mempunyai ciri-ciri pokok tertentu, yang mempunyai implikasi peran dan fungsi yang berbeda dari setiap tahapan bagi seorang fasilitator (Pemandu) atau bagi seorang pelatih (trainer) di dalam memproses kegiatan belajar.
Tahap Berbagi Pengalaman / Tahap Pengungkapan
Merupakan tahap kedua dalam proses belajar atau proses pelatihan. Kita memaparkan atau menyampaikan berbagai pengalaman kita. Apa yang terjadi; Apa yang saya katakan, saya rasakan; Apa yang dirasakan dan dikatakan oleh orang lain; Bagaimana pengalaman itu mempunyai arti. Kita ingin berbagai pengalaman, perasaan dan nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai isu dan konteks dimana isu dan konteks tersebut mempunyai hubungan dan arti dalam kehidupan kita.
Tahap Menganalisis
Tahap ini merupakan suatu proses pemahaman. Ini merupakan suatu proses untuk mencoba memahami berbagai ungkapan pengalaman dari berbagai pihak yang terlibat dalam proses belajar atau proses pelatihan secara kritis. Dalam tahap ini banyak hal yang perlu diperhatikan, terutama yang berkaitan dengan peranan dan pengaruh dari berbagai faktor dan berbagai pihak. Misalkan; Siapa yang mempunyai kewenangan dalam situasi seperti ini? Suara siapa yang lebih didengarkan dan diperhatikan? Siapa yang mengambil keputusan? Siapa yang terkena imbas dan terkena dampak atas keputusan tersebut, dan lain sebagainya.
Tahap Menyimpulkan & Merencanakan
Ini merupakan tahap yang kritis dalam proses belajar dan proses pelatihan. Berbagai ungkapan pengalaman dan analisis yang terjadi, perlu ditarik suatu "generalisasi" dan "menyimpulkannya" sebagai bahan untuk menyusun perencanaan. Dalam proses belajar berdasarkan pengalaman, belajar atau pelatihan tanpa kegiatan tindak lanjut atau perencanaan, akan mengarah kepada hal-hal yang kurang tepat, apati dan ketidak berdayaan; lebih tepat lagi yaitu apa yang dapat kita lakukan sebagai perencana untuk membuat suatu perubahan yang diperlulkan sehingga pengalaman yang kurang baik tidak terjadi lagi, sebagaimana pepatah mengatakan "Keledai tidak akan terantuk pada batu yang sama".
Tahap Menerapkan / Penerapan
Merupakan tahap dimana kita melakukan dan melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atas hasil pembelajaran. Pelaksanaan kegiatan termasuk di dalamnya uji coba, penelitian, implementasi dan pengambilan resiko, tetapi dapat juga merupakan kegiatan menunggu, mendengarkan dan mengamati. Sebab melaksanakan suatu kegiatan tersebut akan menjadi pengalaman nyata yang kita perlukan untuk kita pikirkan lebih jauh tentang apa yang dapat kita pelajari dari pengalaman-pengalaman tersebut untuk menetapkan tujuan dalam pembelajaran atau pelatihan.
Sebagai implikasi dan konsekuensi dari penerapan model pembelajaran melalui Daur belajar berdasarkan pengalaman tersebut di atas adalah "peranan" dan "fungsi" dari pemandu (facilitator) ataupun pelatih (trainer) serta metoda dan teknik-teknik yang dipergunakan, sehingga "tahapan-tahapan" tersebut di atas dapat berjalan dengan baik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada umumnya, metoda dan teknik yang dipergunakan adalah metoda dan teknik yang banyak melibatkan peranserta peserta pelatihan, dimana peran fasilitator adalah membantu peserta pelatihan menciptakan dan suasana belajar. Dengan demikian maka keterlibatan aktif semua pihak menjadi penting dalam proses belajar dalam pendidikan orang dewasa.
Pada umumnya Siklus Belajar Dari Pengalaman ini telah banyak dipergunakan oleh berbagai kalangan baik di dalam lembaga Pendidikan dan Latihan di berbagai instansi pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Adapun siklus belajar tersebut sebagaimana tertera pada gambar sebagai berikut :
Tahap Mengalami (Pengalaman)
Pengalaman merupakan inti proses belajar. Ini merupakan langkah awal dari proses refleksi. Hal ini mencakup segala sesuatu yang telah kita alami yang mencakup keberadaan kita, kegiatan-kegiatan kita, perasaan-perasaan kita, pengamatan kita dan apa saja yang kita dengar. Pendekatan Daur Belajar Berdasarkan Pengalaman didasarkan pada pengalaman yang dibagikan yang merupakan pengalaman riil, konkrit dan sejauh mungkin mempunyai dampak yang berarti. Secara umum masing-masing tahapan tersebut di atas mengandung beberapa unsur penting dan mempunyai ciri-ciri pokok tertentu, yang mempunyai implikasi peran dan fungsi yang berbeda dari setiap tahapan bagi seorang fasilitator (Pemandu) atau bagi seorang pelatih (trainer) di dalam memproses kegiatan belajar.
Tahap Berbagi Pengalaman / Tahap Pengungkapan
Merupakan tahap kedua dalam proses belajar atau proses pelatihan. Kita memaparkan atau menyampaikan berbagai pengalaman kita. Apa yang terjadi; Apa yang saya katakan, saya rasakan; Apa yang dirasakan dan dikatakan oleh orang lain; Bagaimana pengalaman itu mempunyai arti. Kita ingin berbagai pengalaman, perasaan dan nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai isu dan konteks dimana isu dan konteks tersebut mempunyai hubungan dan arti dalam kehidupan kita.
Tahap Menganalisis
Tahap ini merupakan suatu proses pemahaman. Ini merupakan suatu proses untuk mencoba memahami berbagai ungkapan pengalaman dari berbagai pihak yang terlibat dalam proses belajar atau proses pelatihan secara kritis. Dalam tahap ini banyak hal yang perlu diperhatikan, terutama yang berkaitan dengan peranan dan pengaruh dari berbagai faktor dan berbagai pihak. Misalkan; Siapa yang mempunyai kewenangan dalam situasi seperti ini? Suara siapa yang lebih didengarkan dan diperhatikan? Siapa yang mengambil keputusan? Siapa yang terkena imbas dan terkena dampak atas keputusan tersebut, dan lain sebagainya.
Tahap Menyimpulkan & Merencanakan
Ini merupakan tahap yang kritis dalam proses belajar dan proses pelatihan. Berbagai ungkapan pengalaman dan analisis yang terjadi, perlu ditarik suatu "generalisasi" dan "menyimpulkannya" sebagai bahan untuk menyusun perencanaan. Dalam proses belajar berdasarkan pengalaman, belajar atau pelatihan tanpa kegiatan tindak lanjut atau perencanaan, akan mengarah kepada hal-hal yang kurang tepat, apati dan ketidak berdayaan; lebih tepat lagi yaitu apa yang dapat kita lakukan sebagai perencana untuk membuat suatu perubahan yang diperlulkan sehingga pengalaman yang kurang baik tidak terjadi lagi, sebagaimana pepatah mengatakan "Keledai tidak akan terantuk pada batu yang sama".
Tahap Menerapkan / Penerapan
Merupakan tahap dimana kita melakukan dan melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atas hasil pembelajaran. Pelaksanaan kegiatan termasuk di dalamnya uji coba, penelitian, implementasi dan pengambilan resiko, tetapi dapat juga merupakan kegiatan menunggu, mendengarkan dan mengamati. Sebab melaksanakan suatu kegiatan tersebut akan menjadi pengalaman nyata yang kita perlukan untuk kita pikirkan lebih jauh tentang apa yang dapat kita pelajari dari pengalaman-pengalaman tersebut untuk menetapkan tujuan dalam pembelajaran atau pelatihan.
Sebagai implikasi dan konsekuensi dari penerapan model pembelajaran melalui Daur belajar berdasarkan pengalaman tersebut di atas adalah "peranan" dan "fungsi" dari pemandu (facilitator) ataupun pelatih (trainer) serta metoda dan teknik-teknik yang dipergunakan, sehingga "tahapan-tahapan" tersebut di atas dapat berjalan dengan baik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada umumnya, metoda dan teknik yang dipergunakan adalah metoda dan teknik yang banyak melibatkan peranserta peserta pelatihan, dimana peran fasilitator adalah membantu peserta pelatihan menciptakan dan suasana belajar. Dengan demikian maka keterlibatan aktif semua pihak menjadi penting dalam proses belajar dalam pendidikan orang dewasa.
Prinsip-prinsip Belajar untuk Orang
Dewasa
- Orang dewasa belajar dengan baik apabila dia secara penuh ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan.
- Orang dewasa belajar dengan baik apabila menyangkut mana yang menarik bagi dia dan ada kaitan dengan kehidupannya sehari-hari.
- Orang dewasa belajar sebaik mungkin apabila apa yang ia pelajari bermanfaat dan praktis.
- Dorongan semangat dan pengulangan yang terus menerus akan membantu seseorang belajar lebih baik.
- Orang dewasa belajar sebaik mungkin apabila ia mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuannya, kemampuannya dan keterampilannya dalam waktu yang cukup.
- Proses belajar dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman lalu dan daya pikir dari warga belajar.
- Saling pengertian yang baik dan sesuai dengan ciri-ciri utama dari orang dewasa membantu pencapaian tujuan dalam belajar.
Prinsip Pendidikan Orang Dewasa
Pertumbuan orang dewasa dimulai pertengahan masa remaja (adolescence) sampai dewasa, di mana setiap individu tidak hanya memiliki kecenderungan tumbuh kearah menggerakkan diri sendiri tetapi secara aktual dia menginginkan orang lain memandang dirinya sebagai pribadi yang mandiri yang memiliki identitas diri. Dengan begitu orang dewasa tidak menginginkan orang memandangnya apalagi memperlakukan dirinya seperti anak-anak. Dia mengharapkan pengakuan orang lain akan otonomi dirinya, dan dijamin ketentramannya untuk menjaga identitas dirinya dengan penolakan dan ketidaksenangan akan setiap usaha orang lain untuk menekan, memaksa, dan manipulasi tingkah laku yang ditujukan terhadap dirinya. Tidak seperti anak-anak yang beberapa tingkatan masih menjadi objek pengawasan, pengendalian orang lain yaitu pengawasan dan pengendalian orang dewasa yang berada di sekeliling, terhadap dirinya.
Dalam kegiatan pendidikan atau belajar, orang dewasa bukan lagi menjadi obyek sosialisasi yang seolah-olah dibentuk dan dipengaruhi untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan memegang otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan kegiatan belajar atau pendidikan orang dewasa tentunya lebih mengarah kepada pencapaian pemantapan identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri; atau, kalau meminjam istilah Rogers dalam Knowles (1979), kegiatan belajar bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi atau menemuan jati dirinya. Dalam hal belajar atau pendidikan merupakan process of becoming a person. Bukan proses pembentukan atau process of being shaped yaitu proses pengendalian dan manipulasi untuk sesuai dengan orang lain; atau, kalau meminjam istilah Maslow (1966), belajar merupakan proses untuk mencapai aktualiasi diri (self-actualization).
Uraian di atas sesuai dengan konsepsi Rogers dalam Knowlws (1979) mengenai belajar lebih bersifat client centered. Dalam pendekatan ini Roger mendasarkan pada beberapa hipotesa berikut ini.
Pertumbuan orang dewasa dimulai pertengahan masa remaja (adolescence) sampai dewasa, di mana setiap individu tidak hanya memiliki kecenderungan tumbuh kearah menggerakkan diri sendiri tetapi secara aktual dia menginginkan orang lain memandang dirinya sebagai pribadi yang mandiri yang memiliki identitas diri. Dengan begitu orang dewasa tidak menginginkan orang memandangnya apalagi memperlakukan dirinya seperti anak-anak. Dia mengharapkan pengakuan orang lain akan otonomi dirinya, dan dijamin ketentramannya untuk menjaga identitas dirinya dengan penolakan dan ketidaksenangan akan setiap usaha orang lain untuk menekan, memaksa, dan manipulasi tingkah laku yang ditujukan terhadap dirinya. Tidak seperti anak-anak yang beberapa tingkatan masih menjadi objek pengawasan, pengendalian orang lain yaitu pengawasan dan pengendalian orang dewasa yang berada di sekeliling, terhadap dirinya.
Dalam kegiatan pendidikan atau belajar, orang dewasa bukan lagi menjadi obyek sosialisasi yang seolah-olah dibentuk dan dipengaruhi untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan memegang otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan kegiatan belajar atau pendidikan orang dewasa tentunya lebih mengarah kepada pencapaian pemantapan identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri; atau, kalau meminjam istilah Rogers dalam Knowles (1979), kegiatan belajar bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi atau menemuan jati dirinya. Dalam hal belajar atau pendidikan merupakan process of becoming a person. Bukan proses pembentukan atau process of being shaped yaitu proses pengendalian dan manipulasi untuk sesuai dengan orang lain; atau, kalau meminjam istilah Maslow (1966), belajar merupakan proses untuk mencapai aktualiasi diri (self-actualization).
Uraian di atas sesuai dengan konsepsi Rogers dalam Knowlws (1979) mengenai belajar lebih bersifat client centered. Dalam pendekatan ini Roger mendasarkan pada beberapa hipotesa berikut ini.
- Setiap individu hidup dalam dunia pengalaman yang selalu berubah dimana dirinya sendiri adalah sebagai pusat, dan semua orang mereaksi seperti dia mengalami dan mengartikan pengalaman itu. Ini berarti bahwa dia menekankan bahwa makna yang datang dari makna yang dimiliki. Dengan begitu, belajar adalah belajar sendiri dan yang tahu seberapa jauh dia telah menguasai sesuatu yang dipelajari adalah dirinya sendiri. Dengan hipotesa semacam ini maka dalam kegiatan belajar, keterlibatan siswa secara aktif mempunyai kedudukan sangat penting dan mendalam.
- Seseorang belajar dengan penuh makna hanya apabila sesuatu yang dia pelajari bermanfaat dalam pengembangan struktur dirinya. Hipotesa ini menekankan pentingnya program belajar yang relevan dengan kebutuhan siswa, yaitu belajar yang bermanfaat bagi dirinya. Dan tentunya ia akan mempersoalkan kebiasaan belajar dengan mata pelajaran yang dipaksakan atas dirinya, sehingga seolah-olah dirinya tidak berarti.
- Struktur dan organisasi diri kelihatan menjadi kaku dalam situasi terancam, dan akan mengendorkan apabila bebas dari ancaman. Ini berarti pengalaman yang dianggap tidak sesuai dengan dirinya hanya dapat diasimilasikan apabila organisasi diri itu dikendorkan dan diperluas untuk memasukkan pengalaman itu. Hipotesa ini menunjukkan realitas bahwa belajar kerap kali menimbulkan rasa tidak aman bagi siswa (siswa merasa tertekan). Untuk itu, dianjurkan pentingnya pemberian iklim yang aman, penerimaan, dan saling bantu dengan kepercayaan dan tanggung jawab siswa.
- Perbedaan persepsi setiap siswa diberikan perlindungan. Ini berarti di samping perlunya memberikan iklim belajar yang aman bagi siswa juga perlu pengembangan otonomi individu dari setiap siswa.
Hipotesa diatas memperkuat
perkembangan dan terbentuknya teori mengenai teori belajar orang dewasa, dan
lebih jauh mempengaruhi perkembangan teknologi membelajarkan orang dewasa.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah tumbuh kematangan konsep dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan dirinya sendiri. Namun, tidak hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja juga memiliki kebutuhan semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai perkembangan psikologi dari kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat berfikir dalam bentuk dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai perkembangan pikir formal operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat memecahkan segala persoalan secara logik, berfikir secara ilmiah, dapat memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat sudah tercapai kematangan struktur kognitifnya. Dalam periode ini individu mulai mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy) yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitarnya. Berbeda dengan anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan dan membanding-bandingkan. Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan dengan nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan remaja adalah tingkatan kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus sampai mencapai kematangan.
Dengan begitu jelaslah kiranya bahwa pemuda (tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan dirinya sendiri, dan menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara nilai-nilai yang dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan sejak pertengaham masa remaja individu mengembangkan apa yang dikatakan "pengertian diri" (sense of identity).
Seperti telah disebutkan di atas bahwa dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah tumbuh kematangan konsep dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan dirinya sendiri. Namun, tidak hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja juga memiliki kebutuhan semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai perkembangan psikologi dari kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat berfikir dalam bentuk dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai perkembangan pikir formal operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat memecahkan segala persoalan secara logik, berfikir secara ilmiah, dapat memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat sudah tercapai kematangan struktur kognitifnya. Dalam periode ini individu mulai mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy) yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitarnya. Berbeda dengan anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan dan membanding-bandingkan. Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan dengan nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan remaja adalah tingkatan kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus sampai mencapai kematangan.
Dengan begitu jelaslah kiranya bahwa pemuda (tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan dirinya sendiri, dan menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara nilai-nilai yang dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan sejak pertengaham masa remaja individu mengembangkan apa yang dikatakan "pengertian diri" (sense of identity).
Selanjutnya, Knowles (1970) mengembangkan konsep andragogi atas empat asumsi pokok yang berbeda dengan pedagogi. Keempat asumsi pokok itu adalah sebagai berikut.
Asumsi Pertama, seseorang tumbuh dan matang konsep dirinya bergerak dari ketergantungan total menuju ke arah pengarahan diri sendiri. Atau secara singkat dapat dikatakan pada anak-anak konsep dirinya masih tergantung, sedang pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian konsep dirinya inilah orang dewasa membutuhkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang dapat mengarahkan diri sendiri. Apabila dia menghadapi situasi dimana dia tidak memungkinkan dirinya menjadi self directing maka akan timbul reaksi tidak senang atau menolak.
Asumsi kedua, sebagaimana individu tumbuh matang akan mengumpulkan sejumlah besar pengalaman dimana hal ini menyebabkan dirinya menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada waktu yang sama memberikan dia dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang baru. Oleh karena itu, dalam teknologi andragogi terjadi penurunan penggunaan teknik transmital seperti yang dipakai dalam pendidikan tradisional dan lebih-lebih mengembangkan teknik pengalaman (experimental-technique). Maka penggunaan teknik diskusi, kerja laboratori, simulasi, pengalaman lapangan, dan lainnya lebih banyak dipakai.
Asumsi ketiga, bahwa pendidikan itu secara langsung atau tidak langsung, secara implisit atau eksplisit, pasti memainkan peranan besar dalam mempersiapkan anak dan orang dewasa untuk memperjuangkan eksistensinya di tengah masayarakat. Karena itu, sekolah dan pendidikan menjadi sarana ampuh untuk melakukan proses integrasi maupun disintegrasi sosial di tengah masyarakat (Kartini Kartono, 1992). Selajan dengan itu, kita berasumsi bahwa setiap individu menjadi matang, maka kesiapan untuk belajar kurang ditentukan oleh paksaan akademik dan perkembangan biologisnya, tetapi lebih ditentukan oleh tuntutan-tuntutan tugas perkembangan untuk melakukan peranan sosialnya. Dengan perkataan lain, orang dewasa belajar sesuatu karena membutuhkan tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi peranannya apakah sebagai pekerja, orang tua, pimpinan suatu organisasi, dan lain-lain. Kesiapan belajar mereka bukan semata-mata karena paksaan akademik, tetapi karena kebutuhan hidup dan untuk melaksanakan tugas peran sosialnya.
Asumsi keempat, bahwa anak-anak sudah dikondisikan untuk memiliki orientasi belajar yang berpusat pada mata pelajaran (subject centered orientation) karena belajar bagi anak seolah-olah merupakan keharusan yang dipaksakan dari luar. Sedang orang dewasa berkecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan masalah kehidupan (problem-centered-orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi masalah hidupnya.
Kempat asumsi dasar itulah yang dipakai sebagai pembanding antara konsep pedagogi dan andragogi. Penjelasan perbedaan andragogi dan pedagogi seperti di atas dapat dilukiskan dalam penjelasan Perbandingan Asumsi dan Model Pedagogi dan Andragogi berikut.
SATUAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
A. Karakteristik Pendidikan Luar Sekolah
1) Pendidikan Luar Sekolah sebagai Subtitute dari pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dapat menggantikan pendidikan jalur sekolah yang karena beberapa hal masyarakat tidak dapat mengikuti pendidikan di jalur persekolahan (formal). Contohnya: Kejar Paket A, B dan C
2) Pendidikan Luar Sekolah sebagai Supplement pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan untuk menambah pengetahuan, keterampilan yang kurang didapatkan dari pendidikan sekolah. Contohnya: private, les, training
3) Pendidikan Luar Sekolah sebagai Complement dari pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan untuk melengkapi pengetahuan dan keterampilan yang kurang atau tidak dapat diperoleh didalam pendidikan sekolah. Contohnya: Kursus, try out, pelatihan dll
Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).
Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi. Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.
Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah;
1) Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
2) Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;
3) Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
4) Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);
5) Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
6) Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah.
Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :
1) Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
2) Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;
3) Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
4) Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
5) Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.
Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah;
1) Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
2) Pembinaan kelembagaan PLS;
3) Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
4) Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
5) Meningkatkan fasilitas di bidang PLS
Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.
Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri.
Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM
A. Karakteristik Pendidikan Luar Sekolah
1) Pendidikan Luar Sekolah sebagai Subtitute dari pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dapat menggantikan pendidikan jalur sekolah yang karena beberapa hal masyarakat tidak dapat mengikuti pendidikan di jalur persekolahan (formal). Contohnya: Kejar Paket A, B dan C
2) Pendidikan Luar Sekolah sebagai Supplement pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan untuk menambah pengetahuan, keterampilan yang kurang didapatkan dari pendidikan sekolah. Contohnya: private, les, training
3) Pendidikan Luar Sekolah sebagai Complement dari pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan untuk melengkapi pengetahuan dan keterampilan yang kurang atau tidak dapat diperoleh didalam pendidikan sekolah. Contohnya: Kursus, try out, pelatihan dll
Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).
Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi. Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.
Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah;
1) Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
2) Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;
3) Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
4) Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);
5) Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
6) Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah.
Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :
1) Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
2) Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;
3) Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
4) Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
5) Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.
Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah;
1) Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
2) Pembinaan kelembagaan PLS;
3) Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
4) Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
5) Meningkatkan fasilitas di bidang PLS
Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.
Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri.
Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM
Pembelajaran Partisipatif
Dalam pembelajaran partisipatif terdapat tiga pihak sebagai pemegang peran seperti diungkapkan oleh Prof. H.D. Sudjana S., S.Pd., M. Ed., Ph.D. yakni pendidik, peserta didik, dan kurikulum yang menjadi kepedulian keduanya, yaitu kepedulian pendidik dan peserta didik (siswa, warga belajar, peserta latihan). Pendidik dengan penamaan lain baginya seperti pamong belajar, pembimbing, dan pelatih atau widyaiswara, adalah sebagai pemegang utama dalam stiap strategi kegiatan pembelajaran.
Strategi kegiatan pembelajaran dapat ditinjau berdasarkan pengertian secara sempit dan pengertian secara luas. Secara sempit, strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan secara luas, strategi pembelajaran dapat diberi arti sebagai penetapan semua aspek yang berkaitan dengan pencapaian tujuan pembelajaran, termasuk di dalamnya adalah perencanaan, pelaksanaan dan penilaian proses, hasil dan pengaruh kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan kegiatan yang diitimbulkannya, strategi pembelajaran dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik.
Strategi pembelajaran yang berpusat pad peserta didik adalah kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran. Strategi ini menekankan bahwa peserta didik adalah pemegang peran dalam proses keseluruhan kegiatan pembelajaran, sedangkan pendidik berfungsi untuk memfasilitasi peserta didik dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
Strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik memiliki beberapa cirri. Ciri tersebut adalah bahwa pembelajaran menitikberatkan pada keaktifan peserta didik, kegiatan belajar dilakukan secara kritis dan analitik, motivasi belajar relative tinggi, pendidik hanya berperan sebagai pembantu (fasilitator) peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar, memerlukan waktu yang memadai (relative lama), dan memerlukan dukungan sarana belajar yang lengkap. Ciri lainnya adalah bahwa strategi pembelajaran ini akan cocok untuk pembelajaran lanjutan tentang konsep yang telah dipelajari sebelumnya, belajar dari pengalaman peserta didik dalam kehidupannya, dan untuk pemecahan masalah yang dihadapi bersama dalam kehidupan.
Strategi pembalajaran ini memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Keunggulannya adalah pertama, peserta didik akan dapat merasakan bahwa pembelajaran menjadi miliknya sendiri karena peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi. Kedua, peserta didik memiliki motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Ketiga, tumbuhnya suasana demokratis dalam pembelajaran sehingga akan terjadi dialog dan diskusi untuk saling belajar-membelajarkan di antara peserta didik. Keempat, dapat menambah wawasan pikiran dan pengetahuan bagi pendidik karena sesuatu yang dialami dan disampaikan peserta didik mungkin belum diketahui sebelumnya oleh pendidik. Adapun kelemahannya antara lain: (1) membutuhkan waktu yang relative lebih lama dari waktu pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya, (2) aktivitas dan pembelajaran cenderung akan didominasi oleh peserta didik yang biasa atau senang berbicara sehingga peserta didik lainnya lebih banyak mengikuti jalan pikiran peserta didik yang senang berbicara, dan (3) pembicaraan dapat menyimpang dari arah pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik adalah kegiatan pembelajaran yang menekankan terhadap pentingnya aktivitas pendidik dalam mengajar atau membelajarkan peserta didik. Perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian proses serta hasil pembelajaran dilakukan dan dikendalikan oleh pendidik sedangkan peserta didik berperan sebagai pengikut kegiatan yang ditampilkan oleh pendidik.
Dalam pembelajaran partisipatif terdapat tiga pihak sebagai pemegang peran seperti diungkapkan oleh Prof. H.D. Sudjana S., S.Pd., M. Ed., Ph.D. yakni pendidik, peserta didik, dan kurikulum yang menjadi kepedulian keduanya, yaitu kepedulian pendidik dan peserta didik (siswa, warga belajar, peserta latihan). Pendidik dengan penamaan lain baginya seperti pamong belajar, pembimbing, dan pelatih atau widyaiswara, adalah sebagai pemegang utama dalam stiap strategi kegiatan pembelajaran.
Strategi kegiatan pembelajaran dapat ditinjau berdasarkan pengertian secara sempit dan pengertian secara luas. Secara sempit, strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan secara luas, strategi pembelajaran dapat diberi arti sebagai penetapan semua aspek yang berkaitan dengan pencapaian tujuan pembelajaran, termasuk di dalamnya adalah perencanaan, pelaksanaan dan penilaian proses, hasil dan pengaruh kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan kegiatan yang diitimbulkannya, strategi pembelajaran dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik.
Strategi pembelajaran yang berpusat pad peserta didik adalah kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran. Strategi ini menekankan bahwa peserta didik adalah pemegang peran dalam proses keseluruhan kegiatan pembelajaran, sedangkan pendidik berfungsi untuk memfasilitasi peserta didik dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
Strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik memiliki beberapa cirri. Ciri tersebut adalah bahwa pembelajaran menitikberatkan pada keaktifan peserta didik, kegiatan belajar dilakukan secara kritis dan analitik, motivasi belajar relative tinggi, pendidik hanya berperan sebagai pembantu (fasilitator) peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar, memerlukan waktu yang memadai (relative lama), dan memerlukan dukungan sarana belajar yang lengkap. Ciri lainnya adalah bahwa strategi pembelajaran ini akan cocok untuk pembelajaran lanjutan tentang konsep yang telah dipelajari sebelumnya, belajar dari pengalaman peserta didik dalam kehidupannya, dan untuk pemecahan masalah yang dihadapi bersama dalam kehidupan.
Strategi pembalajaran ini memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Keunggulannya adalah pertama, peserta didik akan dapat merasakan bahwa pembelajaran menjadi miliknya sendiri karena peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi. Kedua, peserta didik memiliki motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Ketiga, tumbuhnya suasana demokratis dalam pembelajaran sehingga akan terjadi dialog dan diskusi untuk saling belajar-membelajarkan di antara peserta didik. Keempat, dapat menambah wawasan pikiran dan pengetahuan bagi pendidik karena sesuatu yang dialami dan disampaikan peserta didik mungkin belum diketahui sebelumnya oleh pendidik. Adapun kelemahannya antara lain: (1) membutuhkan waktu yang relative lebih lama dari waktu pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya, (2) aktivitas dan pembelajaran cenderung akan didominasi oleh peserta didik yang biasa atau senang berbicara sehingga peserta didik lainnya lebih banyak mengikuti jalan pikiran peserta didik yang senang berbicara, dan (3) pembicaraan dapat menyimpang dari arah pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik adalah kegiatan pembelajaran yang menekankan terhadap pentingnya aktivitas pendidik dalam mengajar atau membelajarkan peserta didik. Perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian proses serta hasil pembelajaran dilakukan dan dikendalikan oleh pendidik sedangkan peserta didik berperan sebagai pengikut kegiatan yang ditampilkan oleh pendidik.
Setelah lebih kurang 6 bulan
kebersamaan dengan segala macam proses yang berlangsung kini tibalah saatnya
pada akhir dari proses pembelajaran andragogi. Setiap proses apapun yang
dilakukan baik itu dalam hal akademis maupun tidak tentu akan ada kesan dan pesan
sebagai bentuk sense dan proyeksi perbaikan kedepannya. Rasa keingintahuan dan
sense of belonging yang tinggi akan suatu ilmu pengetahuan menjadi modal dasar
tercapaianya sebuah proses pendidikan. Begitu juga dalam proses perjalanan mata
kuliah andragogi kali ini. Berbagai macam suka-duka menjadi bagian dari cerita
indah proses yang penuh dengan dinamika. Setiap bentuk pelajaran dan ilmu yang
dipelajari kali ini bukanlah untuk yang pertama, namun ini akan menjadi sebuah
bentuk pengamalan tersendiri ketika kita terjun ke masyarakat nantinya.
Saya yakin bahwa hari ini semua peserta didik yang terlibat bukanlah untuk pertama kalinya dalam berdiskusi, karyawisata, demonstrasi dan juga pelatihan. Uniknya bukanlah karena kita telah mengalami semuanya dan saat ini hanya sebagai pemenuhan mata kuliah, melainkan sebagai penyadaran diri kita bahwa kita bukanlah manusia yang sempurna yang telah benar-benar memahami sebuah prosedur. Dan kinilah saatnya bagi kita bersama untuk kembali kedunia nyata dengan membawa segenap ilmu yang terstandarisasi sebagai proses menuju keprofesionalitasan sebuah pendidikan.
Pesan yang ingin saya katakan adalah bahwa kita hari ini berproses sebagai peserta didik yang belajar andragogi, memang disadari bahwa perlu dilakukan character building menuju kepada pembentukan sikap seorang yang dewasa , namun perlulah rasanya dilakukan penyesuaian terhadap keadaan yang ada saat ini, sehingga peserta didik juga berproses secara alami dan bisa memahamkan dirinya sendiri dari evaluasi pribadi yang dilakukan. But, overall it’s the real beautiful memory as a self-actualisation for next time.
Komentar
Posting Komentar