Khabbab bin
Arats adalah seorang sahabat Muhajirin yang memeluk Islam pada masa-masa awal,
ketika umat Islam belum mencapai dua puluh orang. Ia berasal dari golongan
lemah, yakni hanya seorang budak yang bertugas membuat pedang atau peralatan
dari besi lainnya. Khabbab bin Arats adalah seorang pandai besi yang ahli
membuat alat-alat senjata, terutama pedang. Walau hanya seorang budak, namun ia
bisa bergaul dengan semua kalangan. Pemuka-pemuka Quraisy pun seringkali
memesan pedang kepadanya. Senjata dan
pedang buatannya dijualnya kepada penduduk Mekkah dan dikirimnya ke
pasar-pasar. Berprofesi sebagai pandai besi yang ahli membuat pedang dan senjata
tajam tersohor sampai ke negeri tetangga kota Mekkah.
Sejak kecil ia
sudah menjadi budak milik Ummu Anmar al-Kuza’iyyah. Ia lalu diserahkan pada
seorang pandai besi untuk diajari membuat pedang, dan ternyata dalam waktu
singkat ia bisa membuat pedang yang bagus. Saat Khabbab dewasa, Ummu Anmar
membuka toko sendiri dan mengembangkan industri pembuatan pedang. Dan dalam
waktu sekejap, nama Khabbab menjadi terkenal di Mekkah, karena kemampuannya
membuat pedang. Selain itu, ia adalah orang yang amanah, kejujuran dan sikap
yang rajin. Selain itu, Khabbab juga sangat cerdas, banyak pengalaman dan
berpikrian bijak. Bila pekerjaannya selesai, ia duduk menyendiri dan berpikir
tentang masyarakat di sekitarnya yang penuh kebodohan dan kerusakan moral.
a. Masa Awal Beliau Masuk
Islam
Kesesatan-kesesatan
yang terjadi di lingkungan Mekkah terutama kaum Quraisy membuatnya selalu
berangan-angan akan datangnya perubahan yang akan mengakhiri kegelapan ini. Dan
kemudian Rasulullah pun diangkat menjadi Nabi. Khabbab segera mendatanginya,
mendengarkan kata-katanya lalu masuk Islam. Ia adalah orang keenam yang masuk
Islam.
Sejak beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, Khabbab pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di
antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya. Ia mendapat kedudukan itu di
antara orang-orang yang walau pun miskin dan tak berdaya, tetapi berani dan
tegak menghadapi kesombongan, kesewenangan dan kegilaan kaum Quraisy.
Saat majikannya
mendengar tentang keislamannya ia sangat marah. Bersama saudaranya dan beberapa
pemuda, ia segera mendatangi Khabbab di tokonya. Saat ditanya tentang kebenaran
berita yang mengatakan bahwa ia masuk Islam dan meninggalkan agama nenek
moyangnya, ia berkata, “Bukan begitu. Cuma aku beriman kepada Allah yang tak
bersekutu dan mengingkari patung-patng kalian. Juga bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan Rasul Allah.” Setelah ia berkata seperti itu, para pemuda
segera mengeroyoknya dan memukulinya sampai ia tidak sadarkan diri dengan darah
bercucuran dari tubuhnya.
Dan berita
mengenai peristiwa itu segera menyebar ke seluruh Mekkah. Seluruh tokoh Quraisy
kalang kabut karena masalah ini. Karena sebelumnya tidak ada yang berani
terang-terangan menyatakan keislamannya seperti Khabbab. Mereka khawatir kalau
hal ini akan menimbulkan pemberontakan yang lebih luas. Dan ternyata hal itu
benar. Apa yang dilakukan Khabbab menyulut keberanian para sahabat dan
budak-budak untuk menyatakan keislaman mereka.
Suatu hari
datanglah serombongan orang musyrik menuju rumah Khabab bin Arats untuk
menanyakan pesanan pedang mereka kepada Khabab. Kebetulan khabab tidak berada
di rumah. Mereka menunggu agak lama. Beberapa saat kemudian munculah Khabab
dengan wajah terlihat sumringah tanda suka cita. Khabab menyapa para tamunya.
Kemudian mereka bertanya : "Apakah sudah engkau selesaikan pedang pesanan
kami?” Khabab tidak menjawab, namun ia bergumam ”sungguh sangat menakjubkan
keadaan ini," seolah-olah ia berbicara sendiri, dan para tamunya merasa
keheranan melihat kelakuan Khabab : "Hai Khabab keadaan apa yang kamu maksudkan,
yang kami tanyakan apakah pedang kami sudah selesai kamu buat?” ujar seorang
Quraisy. Dengan pandangan menerawang seolah mimpi, Khabab lalu bertanya “apakah
kalian sudah melihatnya?”, “Apakah juga kalian sudah pernah mendengar
ucapannya?". Lalu Orang-orang Quraisy itu kembali bertanya kepadanya: ”Hai
Khabbab, keadaan mana yang kamu maksudkan ? Yang kami tanyakan kepadamu adalah
soal pedang kami, apakah sudah selesai kamu buat ?”. Mereka (kaum Quraisy) pun
saling pandang diliputi tanda tanya dan keheranan, dan salah seorang di antara
mereka kembali bertanya, kali ini dengan suatu muslihat, katanya: “Dan kamu,
apakah kamu sudah melihatnya, hai Khabbab ?” Khabbab menganggap remeh siasat
lawan itu, maka ia berbalik bertanya: “Siapa maksudmu ?”, “Yang saya tuju ialah
orang yang kamu katakan itu!” ujar orang Quraisy dengan marah.
Maka Khabbab
memberikan jawabannya setelah memperlihatkan kepada mereka bahwa ia tak dapat
dipancing-pancing. Jika ia mengakui keimanannya sekarang ini di hadapan mereka,
bukankah karena hasil muslihat dan termakan umpan mereka, tetapi karena ia
telah meyakini kebenaran itu serta menganutnya, dan telah mengambil putusan
untuk menyatakannya secara terus terang. Maka dalam keadaan masih terharu dan
terpesona serta kegembiraan jiwa dan kepuasannya, disampaikanlah jawaban,
katanya: “Benar, saya telah melihat dan mendengarnya ! Saya saksikan kebenaran terpancar
daripadanya, dan cahaya bersinar-sinar dari tutur katanya !” . Sekarang
orang-orang Quraisy pemesan senjata itu mulai mengerti, dan salah seorang di
antara mereka berseru: “Siapa dia orang yang kau katakan itu, hai budak Ummi
Anmar ?”. Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang suci, Khabbab
menyahut: “Siapa lagi, hai Arab sahabatku, siapa lagi di antara kaum anda yang
daripadanya terpancar kebenaran, dan dari tutur katanya bersinar-sinar cahaya
selain ia seorang ?”, lalu seorang
Quraisy lainnya yang bangkit terkejut mendengar itu berseru pula:
“Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad ”.
Khabbab
menganggukkan kepalanya yang dipenuhi kebanggaan serta katanya: “Memang, ia
adalah utusan Allah kepada kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan menuju
terang benderang “. Dan setelah itu Khabbab tidak ingat lagi apa yang
diucapkannya, begitu pun apa yang diucapkan orang kepadanya, sebab marahlah
para tamunya mendengar Khabbab telah memluk Islam. Mereka kemudian menyiksa dan
menganiaya Khabab sampai berdarah-darah hingga pingsan. Begitu terbangun,
didapatinya sekujur tubuhnya telah bersimbah darah karena luka. Sambil menahan
nyeri lukanya, Khabab tidak mendapati lagi orang-orang yang menyiksanya dan ia
pun mengobati lukanya sendiri, ia pun bertanya-tanya dalam hatinya, apa
gerangan yang akan dihadapinya setelah itu.
b. Ujian dan Cobaan Berat
Dihadapi Setelah Masuk Islam
Maka setelah itu
ujian dan cobaan berat terus dihadapinya, bahkan cobaan yang di luar
prikemanusiaan dan akal manusia pun di hadapinya. Sya'bi, salah satu kawan
sependeritaan Khabbab, menggambarkan kegilaan orang-orang Quraisy yang menyiksa
Khabbab. Orang-orang Quraisy itu datang kepada Khabbab dan menyeretnya keluar
kemudian menindihnya dengan batu yang membara, hingga meluluhkan dagingnya.
Namun hati Khabbab tak sedikitpun terpengaruh, justru membuat ia semakin yakin
akan kebenaran risalah yang diikutinya. Sahabat lain menceritakan bahwa
orang-orang kafir itu datang ke rumah Khabbab, mereka membakar besi-besi yang
hendak dijadikan pedang. Kemudian setelah membara mereka gunakan untuk tiang
mengikat tangan, kaki, dan berikut tubuh Khabbab. begitu berat cobaan yang harus
dihadapi oleh Khabbab.
Dan pernah pada suatu hari ia pergi bersama
kawan-kawannya sependeritaan menemui Rasulullah saw. tetapi bukan karena kecewa
dan kesal atas pengorbanan, hanyalah karena ingin dan mengharapkan keselamatan,
kata mereka: “Wahai Rasulullah, tidakkah anda hendak memintakan pertolongan
bagi kami ?” Khabbab pergi mengadu kepada Rasulullah SAW yang ketika itu sedang
tidur berbantalkan kain burdahnya di bawah naungan Ka’bah. Permohonan kami
kepadanya. “Wahai Rasulullah, tidakkah anda hendak memohonkan kepada Allah
pertolongan bagi kami ?” . Rasulullah SAW pun duduk, mukanya jadi merah, lalu
Rasul bersabda: “Dulu sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang disiksa,
tubuhnya dikubur kecuali leher ke atas, lalu diambil sebuah gergaji untuk menggergaji
kepalanya, tetapi siksaan demikian itu tidak sedikit pun dapal memalingkannya
dari Agamanya ! Ada pula yang disikat antara daging dan tulang-tulangnya dengan
sikat besi, juga tidak dapat menggoyahkan keimanannya. Sungguh Allah SWT akan
memenangkan perjuangan agama ini sehingga suatu saat nanti, orang akan
berkendaraan dari Shan'a hingga Hadramaut tanpa merasa takut kecuali hanya
kepada Allah, sampai serigala bisa berdampingan dengan kambing (tanpa
memangsanya)”.
Mendengar
penuturan Rasul, Khabbab pun dengan ikhlas dengan penderitaannya dan berteguh
dengan keimanannya. Khabbab pun dengan kawan-kawannya setelah mendengarkan
kata-kata Rasulullah, bertambahlah keimanan dan keteguhan hati mereka,
masing-masing mereka berikrar akan membuktikan kepada Allah dan Rasul-Nya hal
yang diharapkan dari mereka, ialah ketabahan, kesabaran dan pengorbanan.
Demikianlah,
Khabbab menanggung penderitaan dengan sabar, tabah dan tawakkal. Orang-orang
Quraisy pun terpaksa meminta bantuan Ummi Anmar, yakni mantan majikan Khabbab
yang telah membebaskannya dari perbudakan. Wanita tersebut akhirnya turun
tangan dan turut mengambil bagian dalam menyiksa dan menderanya. Wanita itu
mengambil besi panas yang menyala, lalu menaruhnya di atas kepala dan ubun-ubun
Khabbab, sementara Khabbab menggeliat kesakitan. Tetapi nafasnya ditahan hingga
tidak keluar keluhan yang akan menyebabkan algojo-algojo tersebut merasa puas
dan gembira.
Kemudian para
tokoh Quraisy pun berunding. Mereka memutuskan setiap suku harus menganiaya dan
menindak keras siapa saja di wilayahnya yang mengikuti agama Muhammad. Mereka
harus dipaksa kembali ke agama nenek moyangnya atau dibunuh. Dalam hal ini,
Siba’ bin Abdul Uzza, saudara Ummu Anmar dan kaumnya diberi kepercayaan untuk
menangani Khabbab.
Pada setiap
siang, bila panas sudah menyengat, mereka beramai-ramai mengeluarkan Khabbab ke
tengah gurun. Dilucuti pakaiannya, diberikan baju besi dan tidak diberi minum.
Ketika keadaannya sudah lemah, dan ditanya mengenai Muhammad, maka ia menjawab,
“Hamba Allah dan Rasul-Nya, datang membawa agama hidayah dan kebenaran untuk
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.” Mereka pun memukulinya
sampai puas. Dan lalu bertanya pendapat Khabbab tentang Lata dan Uzza. Budak
itu pun menjawab, “Dua buah patung yang tidak bisa bicara dan tidak ada
manfaatnya maupun mudharatnya.” Mereka memanaskan batu sampai membara lalu
menaruhnya diatas punggung Khabbab sampai darah-darah luka menetes dari
bahunya.
Selain Siba’,
Ummu Anmar pun ikut menyiksanya. Saat melihat Khabbab bercakap-cakap dengan
Rasulullah, ia menjadi kalap. Setiap hari ia memanaskan sebatang sisir besi
kemudian menaruhnya di kepala Khabbab sampai pemuda itu pingsan. Asap keluar
dari kepalanya. Siksaan itu baru berhenti saat Khabbab hijrah ke Madinah.
Pada suatu hari pun
Rasulullah SAW lewat di hadapannya, sedang besi yang membara di atas kepalanya
membakar dan menghanguskannya. Hingga kalbu Rasulullah pun bagaikan terangkat
karena pilu dan iba hati. Rasulullah kemudian berdoa, "Ya Allah,
limpahkanlah pertolongan-Mu kepada Khabbab".
Dan kehendak
Allah pun berlakulah, selang beberapa hari kemudian, Ummi Anmar menerima
hukuman atau ganjaran perbuatannya qishas. Seolah-olah hendak dijadikan
peringatan oleh Yang Maha Kuasa baik bagi dirinya maupun bagi algojo-algojo
lainnya. Ia diserang oleh semacam penyakit panas yang aneh dan mengerikan. Dan
seseorang memberi nasihat bahwa satu-satunya jalan atau obat yang dapat
menyembuhkan Ummi Anmar ialah menyeterika kepalanya dengan besi menyala. Sejak
itu kepala Ummu Anmar terus menerus disisir dengan besi yang dipanaskan. Ia
menjerit-jerit merasakan panasnya besi dan lupa akan sakit kepalanya Demikianlah, kepalanya yang angkuh itu menjadi
sasaran besi panas, yang disetrikakan orang kepadanya tiap pagi dan petang.
Suatu ketika, di
masa pemerintahan Umar bin Khattab, khalifah tersebut menanyakan siapa orang
yang menerima siksaan paling keras dari orang Quraisy. Khabbab malu untuk
menjawabnya. Ketika didesak, akhirnya dia membuka pakaiannya. Umar sangat
terkejut melihat keadaan punggung Khabbab. “Bagaimana ini bisa terjadi?”,
tanyanya.
Khabbab
menjawab, “Orang-orang musyrik itu membakar papan sampai membara, kemudian
melucuti pakaianku dan menyeretku diatas papan itu sampai dagingku berjatuhan
dari tulang. Api itu tidak mati kecuali oleh cairan yang menetes dari tubuhku.”
c. Pengorbanan dan
Ketakwaannya
Di masa-masa
dakwah pertama, Khabbab. tidak merasa cukup dengan hanya ibadah dan shalat
semata, tetapi ia juga memanfaatkan kemampuannya dalam mengajar. Didatanginya
rumah sebagian temannya yang beriman dan menyembunyikan keislaman mereka karena
takut kekejaman Quraisy, lalu dibacakannya kepada mereka ayat-ayat Alquran dan
diajarkannya. Ia mencapai kemahiran dalam belajar Alquran yang diturunkan ayat
demi ayat dan surat demi surat.
Khabbab termasuk
salah satu generasi pertama sahabat Rasul. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan
mengenai dirinya, bahwa Rasuiullah SAW pernah bersabda, Selain ahli ibadah, ia
juga seorang guru ngaji yang Rasulullah sendiri pernah mengatakan, "Barang
siapa ingin membaca al Qur'an, hendaklah ia meniru bacaan Khabbab Ibnu Ummi
Abdin". Khabbab mendapatkan kelebihannya itu untuk mengajar orang-orang
yang masuk Islam. Khabbab jugalah yang mengajar Fatimah binti Khattab (saudara
perempuan Umar bin Khattab) dan suaminya Fatimah membaca Al Qur'an. Hingga
Abdullah bin Mas’ud menganggap Khabbab sebagai tempat bertanya mengenai
soal-soal yang bersangkut paut dengan Alquran, baik tentang hapalan maupun
pelajarannya.
Sampai akhir
hayat Rasulullah, Khabbab sendiri tidak pernah ketinggalan untuk pergi
berperang. Pada saat Perang Badr, ia bertugas menjaga kemah Rasulullah pada
malam sebelum perang, dan ia melihat Nabi SAW shalat semalaman hingga menjelang
fajar. Ketika Khabbab bertanya tentang shalat yang sangat panjang itu, Nabi SAW menjawab, "Itu adalah
shalat yang penuh harapan dan ketakutan, aku berdoa kepada Allah dengan tiga
permintaan, dua dikabulkan dan satu lagi dicegah-Nya. Aku berdoa : Ya Allah,
janganlah umatku Engkau binasakan sampai habis karena kelaparan, dan Dia mengabulkannya.
Aku berdoa : Ya Allah, Janganlah umatku engkau binasakan sampai habis karena
serangan musuh, dan Dia mengabulkannya. Aku berdoa : Ya Allah, janganlah
terjadi perpecahan dan perselisihan di
antara umatku, maka Dia mencegah doaku ini."
Pada masa
kekhalifahan Umar bin Khattab dimana saat itu keadaan baitul maal sudah
membaik. Ada kebiasaan aneh yang tetap tak bisa dihindarinya dalam kondisi
banyak harta seperti itu. Ia begitu sering menangis. Masih kurangkah gajinya?
"Sesungguhnya saya tidak merasa kekurangan justru kelebihan itulah yang
mengingatkan saya kepada para sahabat yang telah meninggalkan kita dengan
membawa semua amalnya, sebelum mendapatkan ganjaran di dunia. Sedangkan kita
masih hidup dan mendapat kekayaan yang melimpah hingga tak ada tempat untuk
menyimpannya lagi kecuali di tanah”.
Khabbab
mendapatkan gaji yang cukup besar. Walaupun begitu ia tidak pernah lupa untuk
bersedekah. sampai-sampai ia membuat tempat untuk menyimpan uang tepat di ruang
tamu dan tidak pernah ia tutup dengan selembar benang pun, karena memang
disediakannya untuk para tamu yang membutuhkannya. Penghasilannya yang cukup
ini memungkinkannya untuk membangun sebuah rumah di Kufah, dan harta
kekayaannya disimpan pada suatu tempat di rumah itu yang dikenal oleh para
shahabat dan tamu-tamu yang memerlukannya. Hingga bila di antara mereka ada
sesuatu keperluan, ia dapat mengambil uang yang diperlukannya dari tempat itu.
Walaupun demikian, Khabbab tak pernah tidur nyenyak dan tak pernah air matanya
kering setiap teringat akan Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang telah
membaktikan hidupnya kepada Allah. Mereka beruntung telah menemui-Nya sebelum
pintu dunia dibukakan bagi kaum Muslimin dan sebelum harta kekayaan diserahkan
ke tangan mereka.
d. Hingga Akhir Menjelang
Wafat Beliau
Ketika Khabab
sedang sakit mendekati ajal, banyak para sahabat yang menengoknya. Ketika para
sahabatnya datang menjenguk ketika ia sakit, mereka berkata, "Senangkanlah
hati anda wahai Abu Abdillah, karena anda akan dapat menjumpai teman-teman
sejawat anda”. Saat akan wafat, para sahabat menengoknya. Ia berkata sambil
menangis, “Di tempat ini ada 8000 dirham. Demi Allah, aku tak pernah mengikat
atau melarang orang mengambilnya.” Ujarnya.
Dan
setelah itu ia menoleh kepada kain kafan yang telah disediakan orang untuknya.
Maka ketika dilihatnya mewah dan berlebih-lebihan, katanya sambil mengalir air
matanya: “Lihatlah ini kain kafanku! Bukankah kain kafan Hamzah paman
Rasulullah saw ketika gugur sebagai salah seorang syuhada hanyalah burdah berwarna
abu-abu, yang jika ditutupkan ke kepalanya terbukalah kedua ujung kakinya,
sebaliknya bila ditutupkan ke ujung kakinya, terbukalah kepalanya ?”.
Khabbab
berpulang pada tahun 37 Hijriah. Dengan demikian ahli membuat pedang di masa
jahiliyah telah tiada lagi. Demikian halnya guru besar dalam pengabdian dan
pengurbanan dalam Islam telah berpulang.
Begitu mulia
sekali perjuangan beliau untuk tetap berpegang teguh dengan jalan Allah dan
Rasul, walau ia hanya seorang budak yang miskin namun beliau mempunyai kekayaan
iman yang luar biasa yang sama dengan para sahabat-sahabat Rasul lainnya
seperti, Abu Bakar, Ali, Umar dan lainnya. Cobaan dan ujian yang sangat berat
bahkan luar biasa berat cobaan yang beliau terima mampu ia jalani dengan
Istiqomah. Semoga kita bisa menjadi seorang muslim yang mempunyai iman yang
sangat luar biasa kuat seperti beliau dan tetap memperjuangkan agama Allah .
Komentar
Posting Komentar