Secara
implisit kepentingan pendidikan luar sekolah sebagai alternatif lahir
dari pemikiran Philip H. Coombs yang menjadi rujukan dari umumnya para
pemikir pendidikan luar sekolah melalui pendidikan luar sekolah sebagai
suplemen, komplemen dan substitusi. Menyimak pendidikan sebagai bagian
dari paradigma sosial, sah-sah saja adanya keragaman berpikir mengenai
pendidikanluar sekolah. Kerisauan terletak pada jabatan fungsional dari
pemangku profesi yang seolah hanya menjadi suplemen, komplemen dan
substitusi dari pendidikan sekolah. Hal ini patut diakui pula dimana
dalam kenyataan seolah menghadapi jalan buntu dan sekedar menjadi
embel-embel tak ubahnya seperti mur ganda, ada atau tiada tidak
memberikan kontribusi yang penting.
Kontradiksi
berpikir semakin memuncak setelah adanya kesepakatan pendidikan untuk
semua yang dideklarasikan di Dakar tahun 2000 pada kesepakatan (6)
menyatakan bahwa pendidikan harus memenuhi kebermutuan, dapat diukur dan
memiliki life skills. Hal dimaksud termasuk untuk pendidikan luar
sekolah. Jadi bila hanya dilihat sebagai komplemen, suplemen dan
substitusi seperti yang dibayangkan selama ini pendidikan luar sekolah
menjadi sangat tidak jelas. Tuntutan lebih jauh adalah himbauan
deklarasi tujuan pembangunan milenium (MDG) yang menuntut peran yang
lebih nyata dari pendidikan pada:
1. Menghapuskan Kemiskinan dan Kelaparan Ekstrim
2. Mencapai Pendidikan Dasar Universal
3. Mempromosikan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan perempuan
4. Mengurangi Angka Kematian Anak
5. Meningkatkan Kesehatan Ibu
6. Memerangi HIV / AIDS, malaria dan penyakit lainnya.
7. Memastikan Keberlanjutan Lingkungan.
8. Mengembangkan Kemitraan Global untuk pembangunan.
Menyimak
deklarasi ini dan berdasar pada teori fungsi maka pendidikan luar
sekolah tidak bisa tidak kecuali memenuhi tuntutan ini. Jadi PLS baru
merupakan sebuah alternatif. Tuntutan sebagai alternatif semakin
memuncak berdasar pada kenyataan bahwa pendidikan selama ini hanya
bersifat kejutan, yang secara ekstrim digambarkan Botkin (1979) dimulai
dengan seyuman dan diakhiri dengan tangisan. Setiap orang tergopoh-gopoh
untuk memasuki dunia pendidikan dengan sejuta harapan, akan tetapi
demikian kurang keterlibatan emosional untuk menapaki pendidikan dengan
melakukan jalan pintas yang berujung pada ketidakjelasan mau mengerjakan
apa atau tangisan. Botkin sendiri dalam bukunya Nonformal Education as
Path to Learning merekomendasikan pendidikan sejati dan sebagai
alternatif yaitu melalui antisipasi, yaitu gambarkan peran apa yang akan
dilakoni segera setelah selesai mengikuti pendidikan dan berusaha
sekuat mungkin untuk memenuhi kompetensi yang diprasaratkan oleh peran
dimaksud. Baik Deklarasi Dakar maupu pemikiran Botkin melihat bahwa
pendidikan harus berkelanjutan atau educatin for sustainable
development, secara khusus kemudian dideklarasikan di Bonn tahun 2009
lalu, yang terdiri dari:
Terdapat 19 pokok dari deklarasi Bonn, akan tetapi yang terpenting pada point 9 bidang praktis, menuntut:
Menurut
Goads (1984) pendidik Perancis, letak alternatifnya bila pendidikan
lain penguasaan kompetensi untuk mencari peran setelah menyelesaikan
suatu jenjang studi, maka pendidikan luar sekolah keterukurannya dilihat
bila seorang lulusan dinyatakan memiliki kompetensi sebelum
meninggalkan jenjang tertentu telah memiliki kompetensi yang ditetapkan.
Telah berulang dikemukakan penulis kompetensi pembelajar sebagai
alternatif terdiri dari belajar untuk belajar, belajar untuk
diplikasikan dan belajar untuk memerankan fungsi baru. Rincian dari
kompetensi ini yaitu:
1. Kompetensi untuk identifikasi dan identidikasi diri
2. Kompetensi untuk analisis dan analisis diri
3. Kompetensi untuk evaluasi dan evaluasi diri
4. Kompetensi komunikasi
5. Kompetensi untuk belajar mandiri
6. Kompetensi kreatif dan inovatif
7. Kompetensi dalam fleksibilitas dan adaptabilitas.
Beberapa
negara maju seperti halnya Cina mencanangkan perubahan yang sangat
mendasar misalnya dari segi metode pembelajaran yang semula lebih banyak
menekankan pada peluncuran dan bersifat tabularasa menjadi kemampuan
untuk mengatasi masalah secara langsung seperti:
1. Kekuatan intelektual dan imajinatif;
2. Pemahaman dan pembuatan;
3. Keterampilan komunikasi;
4. Keterampilan kerjasama;
5. Keterampilan pemecahan masalah;
6. Perluasan perspektif pada disiplin keaklian, dan
7. Pendekatan inkuiri, analitik dan kreatif (The China Paper, 2004)
Sekaitan
dengan tuntutan itu pendidikan yang dicanangkan Kong Fu Tsu, bukan
berikan ikan tapi berikan pancing mengeksplisitkan inovasi pendidikan
seperti di bawah ini:
1. Memetakan Konsep
2. Perubahan Konsep
3. Pemecahan masalah
4. Pembelajaran berbasis masalah
5. Studi kasus
6. Pemecahan isu-isu sosial
7. Lokakarya
8. Baru mengajar bantuan teknis
9. Pembelajaran berbasis Perpustakaan
10. Pembelajaran berbasis web
11. Pemodelan menggunakan komputer (The China Paper, 2004)
Sebagai
sarat penunjang untuk melakukan perbedaan ini sudut pandang harus
berubah dari padangan klasik pendidikan seperti yang dikemukakan oleh
Thorndike’s melalui Connectionism Pavlov’s melalui Classical
Conditioning, Guthrie’s melalui Contiguous Conditioning dan Skinner’s
melalui Operant Conditioning yang lebih bersumber dari prilaku belajar
naluri dan hewani menjadi penekanan pada humanisme yang diarahkan pada
kemampuan membelajarkan diri seperti dikemukakan Maslow, Rogers dan
Knowles atau bahkan Ki Hajar Dewantoro. Lebih jauh Knowles menekankan
pembelajaran dan pendidikan humanis berbasis pada inisiatif yang datang
dari diri pembelajar, dorongan dari dalam, perpasif dalam arti memiliki
daya beda, kemampuan mengevaluasi diri dan kebermaknaan. Hal ini
ditegaskan oleh Epifania seperti gambar berikut:
Dengan demikian pendidikan luar sekolah sebagai alternatif lebih dilihat dari:
Jadi
pendidikan luar sekolah sebagai alternatif lebih dilihat dari
keberfungsian pendidikan itu sendiri, dimana dengan hasil pendidikan
mampu menjadi pembeda seseorang sesuai dengan kefungsian dalam belajar,
kemanfaatan dan kebermaknaan dalam kehidupan dan yang paling penting
melakukan peran yang berbeda, lebih baik dan sempurna dalam masyarakat.
|
BAB II PEMBAHASAN A. Peran Pendidik dalam Perencanaan Kebutuhan Sarana, Pengadaan, Inventarisasi, Penataan/Penyimpanan, Pemakaian, Pemeliharaan, Penghapusan dan Pengawasan Sarana dan Prasarana di PKBM 13 Cipinang 1. Hakikat Sarana dan Prasarana Pendidikan Menurut Suharsimi Arikunto (1987), sarana pendidikan ialah semua fasilitas yang diperlukan dalam proses belajar mengajar, baik yang bergerak maupun tidak bergerak agar mencapaian tujuan pendidikan dapat berjalan dengan lancar, teratur, efektif dan efisien. Prasarana pendidikan adalah alat yang tidak langsung yang digunakan untuk pencapai tujuan pendidikan. Yang termasuk prasarana misalnya ; Bangunan sekolah, lapangan olahraga, asrama guru, dan sebagainya. 2. Hakikat Manajemen Sarana dan Prasarana Meurut Ari Gunawan (1996) Manajemen sarana dan prasarana pendidikan merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan da...
Komentar
Posting Komentar